Diskusi Warung Kopi dan Street Culture



Secuil pengalaman warung kopi

Warung kopi semacam pengalaman bisnis kuliner baru yang menjamur di Kota Atambua dan sekitarnya. Dimana-mana ada warung kopi. Sebut saja, warung kopi hadir pertama kalinya di lokasi pasar senggol sekitar Lapangan Umum Atambua. Namanya, halte kopi yang dinikmati warga dengan sajian kopi yang enak sesuai jenis sambil menikmati musik. Warga dalam segala lapisan sosial datang ke sana untuk menikmati kopi buatan lokal, daerah, dalam negeri bahkan luar negeri. Ada berbagai jenis minum kopi yang disajikan sesuai permintaan dan selera.

Dalam perjalanan, warung kopi mulai berkembang di Kota Atambua dan ibarat jamur tumbuh di musim hujan. Sebut saja, warung kopi di Mai Ona Minimart yang menyediakan kopi sekaligus wifi. Orang berbondong-bondong ke sana untuk menikmati kopi khasnya sambil memanfaatkan layanan wifi gratis. Warung Hoki Jaya simpang empat pasar senggol Lapangan Umum Atambua juga dijadikan warung kopi para pekerja media dan para sahabat. Warung Hoki menjadi tempat nongkrong pekerja media untuk mendiskusikan hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan dan sosial kemasyarakatan.

Secara kasat mata, warung kopi telah menjadi wahana diskusi pembangunan sebagaimana yang dilaksanakan Romo Anton Kapitan dan Jony Pari melalui giat Warung Kopi Sekolah Demokrasi setiap bulan untuk menggagas setiap tema pembangunan yang kemudian menjadi rekomendasi kepada pemerintah dan elemen pembangunan untuk ditindaklanjuti. Demikian pun, pemerintah dan beberapa instansi vertikal menanggapi diskusi warung kopi dengan menggelar coffee morning sebagaimana yang sudah dilaksanakan beberapa kali belakangan ini.

Kopi dan Street Culture

Kopi adalah sejenis minuman yang disenangi, sehingga diteguk kapan dan dimana saja. Kopi bisa diminum di rumah, kios, kantor-kantor dan warung-warung. Termasuk pula, di pusat perbelanjaan seperti Jabalmart Supermarket yang beralamat di Kelurahan Tulamalae Kabupaten Belu dengan jenis dan kualitas kopi yang beraneka ragam. Akan tetapi, acara minum kopi lebih suka dilaksanakan di tempat-tempat santai yang memancing penikmat kopi larut dalam diskusi. Diskusi tentang pembangunan dan dinamika kehidupan masyarakat.
Di kalangan pekerja media dan para sahabat, kopi punya arti  tersendiri. Kopi merupakan singkatan dari Ketika Otak Penuh Inspirasi. Singkatan itu lahir dari pengalaman diskusi para pekerja media. Minum kopi ala pekerja media menghabiskan waktu berjam-jam. Entah apa yang dibahas dalam setiap kesempatan, kopi telah membuat pekerja media mengalami semacam “extacy” karena kenikmatan dan larut dalam olah pikir.

Tak dapat disangkal, acara minum kopi sudah bisa dilihat dimana-mana, di tempat terbuka dan pinggiran jalan. Giat santai minum kopi nampaknya sudah semacam Street Culture (budaya jalanan). Yang dimaksud, acara minum kopi bukanlah dalam konteks pemahaman unsur-unsur kebudayaan yang dikemukakan Koentjaraninggrat. Minum kopi mulai mengarah kepada kebiasaan yang dilakukan masyarakat kota dan mulai menjamur di setiap sudut kota, tempat strategis dan pusat perbelanjaan. Warung kopi dengan sajian lezat menarik penikmati kopi untuk menikmati sajian hidangan minuman yang membuat orang terlibat diskusi hangat tak kunjung usai.

Warung kopi picu diskusi kritis

Tanpa disadari warung kopi telah menarik penikmat kopi untuk terlibat dalam perbincangan apa saja, termasuk diskusi kritis. Publik terkadang menilai orang yang terlibat “budaya jalanan” tersebut dianggap orang gila, karena berbicara tentang banyak hal. Deretan pertanyaan akan muncul sebagai bentuk penilaian terhadap para penikmati kopi. Siapa penikmat kopi, sehingga bicaranya berjam-jam seolah-olah mau merubah republik ini? Apakah mereka itu pengambil kebijakan, sehingga apa yang dibahas dapat diputuskan untuk dilaksanakan? Apa artinya enak bicara dan “omong enak” tetapi mereka bukan siapa-siapa? Lantas, apakah gunanya mereka menghabiskan waktu hanya untuk bicara? Itulah litani pertanyaan yang terlontar ketika ditemukan masih banyak penikmat kopi asyik berdiskusi jalanan.
Hemat kami, para penikmat kopi adalah “orang gila” yang menghayati situasi zamannya.

Bahwa zaman ini membutuhkan orang yang mampu berdiskusi, membangun gagasan tentang apa yang dilihat, dirasakan dan dialami dalam hidup. Karena, manusia yang tidak mampu berdiskusi tentang zamannya adalah orang yang tenggelam dalam arus pusaran kepentingan zaman yang cenderung menjerumuskannya ke dalam sikap apatis terhadap perubahan. Apatis terhadap diri, sesama dan lingkungannya. Kondisi ini bisa dinilai bahwa sebenarnya orang sudah mulai “mati” dalam kemanusiaannya di zaman ini.
Pertanyaannya, apakah kita membiarkan kehidupan terus berjalan tanpa diskusi dan membangun gagasan, ketika menyaksikan manusia zaman ini sering bertindak di luar kontrol akal budi, pesona norma, kendali hati nurani dan kearifan? Padahal, hidup kemanusiaan di masa kini dan masa yang akan datang tergantung pada kesadaran dan sikap kritis manusia. Plato, filsuf tua berkata, hidup yang direfleksikan adalah hidup yang pantas dijalani. Perkataan sang filsuf menghentak nurani kemanusiaan manusia untuk berpikir tentang hidup, merefleksikan kehidupan untuk membangun gagasan demi perubahan dan kemajuan zaman.
Albert Hasibuan juga pernah menegaskan, kehidupan masa depan yang cerah ditentukan kesadaran dan sikap kritis hari ini. Pernyataan-pernyataan tersebut mengafirmasi eksistensi manusia. Itulah sebabnya, filsuf kebangsaan Perancis, Rene Descart mengatakan, Cogito ergo sum, saya berpikir maka saya ada. Sehingga, orang bijak pun turut mengajarkan bahwa berpikirlah seperti manusia yang mampu berbuat dan berbuatlah seperti manusia yang berpikir. Karena berpikir tanpa berbuat ibarat menembak tanpa sasaran. Sebaliknya, berbuat tanpa berpikir itu non sense.

Gembala tradisi dan nabi masa depan

Pekerja media atau lazimnya orang sebut wartawan adalah manusia zaman yang turut menentukan dinamika kehidupan saat ini. Orang membutuhkan wartawan ketika mengalami masalah dan membutuhkan solusi pemecahan. Wartawan dibutuhkan ketika orang ingin dirinya dikenal. Dan wartawan diperlukan ketika nilai-nilai kebajikan yang bijak seperti kebaikan, kebenaran, keadilan, cinta dan damai mulai redup kehidupan.

Di tengah kehidupan zaman, wartawan dibutuhkan untuk mewariskan nilai dan norma kehidupan. Manusia zaman ini membutuhkan wartawan, karena menginginkan adanya kebaikan, kebenaran, keadilan, cinta dan damai. Apa sebabnya? Manusia zaman ini sepertinya keletihan dan kian tak peduli. Manusia “mematikan” sesama bahkan dirinya sendiri. Dapat terjadi, manusia mati dalam perasaan, kehendak, pikiran dan daya juang. Manusia nampaknya lesu memperjuangkan kebaikan, kebenaran dan keadilan. Di sinilah manusia tidak mampu mencintai kehidupan dan cenderung mengalienasikan diri, sesama dan lingkungannya. Padahal, orang bijak sudah memberikan pelajaran, Pilihlah kehidupan agar engkau hidup.

Hingga momen terkini, wartawan masih dibutuhkan untuk memberikan permukaan datar bagi lekak-lekuknya bidang kehidupan. Dari merosotnya moral penguasa hingga ketidakadilan pembangunan. Dari kurangnya respek manusia terhadap harkat dan martabat manusia hingga lemahnya upaya penegakan nilai, moral dan hukum. Dari keroposnya semangat mengabdi dan melayani hingga menurunnya etos kerja manusia. Dari keprihatinan masyarakat sipil hingga keresehan masyarakat intelektual, semuanya harus ditulis demi mencapai hidup yang menganut prinsip kebaikan bersama (bonum commune).

Wartawan adalah “orang kepercayaan zaman” yang dipanggil untuk “menggembalakan” nilai dan tradisi hidup. Eksistensi seorang pekerja media ditentukan oleh panggilannya sebagai pejuang nilai dan norma kehidupan. Tanpa menghayati panggilan tersebut, seorang wartawan bukanlah siapa-siapa. Panggilan itu hendaknya dihayati sebagai seorang gembala dan nabi, karena masih banyak sejumlah kebutuhan, harapan dan kerinduan. Manusia zaman ini terus merindukan adanya tata dunia baru. Dunia yang didalamnya terdapat kehidupan yang diwarnai dengan kebebasan, kebaikan, kebenaran, keadilan, cinta dan damai. Itulah wartawan, yang kerapkali bisa disebut gembala tradisi dan nabi masa depan yang memiliki tugas dan panggilan untuk menyediakan sebuah “rumah” layak huni bagi kehidupan di masa yang akan datang.***

(Mariano Parada - Wartawan Media Online Gerbang NTT)
Lebih baru Lebih lama