Kemenko Maritim Kawal Gugatan Tumpahan Minyak di Selat Malaka

GerbangNTT. Com, RIAU - Kemenko Bidang Kemaritiman tiga Negara yakni Indonesia, Malaysia dan Singapura menggelar rapat koordinasi (Rakor) untuk mengecek kesiapan Pemerintah Daerah, Organisasi Masyarakat dan masyarakat dalam menggugat perusakan lingkungan di wilayah laut dan pesisir di Kepulauan Riau sesuai Standard Operational Procedure (SOP) di Kantor Gubernur  Kepulauan Riau, Selasa (09/10/2018).
Pasalnya, wilayah Kepulauan Riau dan sekitarnya merupakan daerah yang terus menerus terpapar pencemaran lingkungan laut akibat tumpahan minyak di Selat Malaka setiap musim utara yang dimulai dari bulan September sampai dengan Maret setiap Tahun.

"Rakor ini merupakan tindak lanjut rapat "The National Workshop on IMO Civil Liability and Compensation Conventions" yang merupakan  kerjasama Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan  Maritim dengan International Maritime Organization (IMO) dan diselenggarakan di Denpasar Bali, pada tanggal 18-21 September 2018," ungkap Asisten Deputi Keamanan dan Ketahanan Maritim, Basilio Diaz Araujo usai menghadiri rakor tersebut.

Secara teknis jelas Basilio rakor ini juga dimaksudkan untuk menyiapkan Pemerintah Daerah dan Masyarakat Kepulauan Riau untuk Mengajukan Klaim Ganti Rugi atas Kerusakan Lingkungan dan Sosio- Ekonomi di Selat Malaka Akibat Tumpahan Minyak dari Kapal di wilayah Kepulauan Riau.

"Kita pilih Provinsi Kepulauan Riau sebagai lokasi rakor karena wilayah Kepulauan Riau dan sekitarnya merupakan daerah yang secara terus menerus yang terpapar pencemaran lingkungan laut akibat dari tumpahan minyak di Selat Malaka," terang Basilio.

Menurut Basilio, hal yang sama terjadi untuk kasus tumpahan minyak Montara di Laut Timor Tahun 2009 yang sampai hari ini juga belum selesai dan masyarakat dibiarkan sendiri membawa kasusnya ke Pengadilan Federal Australia.

"Sebagai contoh kasus Kapal MV Alyarmouk berbendera Libya yang ditabrak kapal MV Sinar Kapuas berbendera Singapura pada tanggal 2 Januari 2015 di perairan Singapura dekat Pedra Branca, yang kemudian mengakibatkan tumpahan minyak sampai pada pesisir wilayah Batam dan Bintan. Namun sampai hari ini kasus ini belum diselesaikan dan masyarakat dibiarkan sendiri membawa kasus ini ke pengadilan di Singapura," tuturnya.
Khusus untuk penanggulangan tumpahan minyak di laut, Basilio menuturkan bahwa pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden No. 109 Tahun 2006 tentang Penanggulangan keadaan darurat tumpahan minyak di laut. 

Dikatakan Basilio, dalam peraturan tersebut sudah diuraikan tugas Pemerintah, Pemerintah Provinsi bahkan sampai ke Pemerintah Kabupaten atau Kota, untuk kerjasama Trilateral RI, Malaysia dan Singapura sudah ada SOP yang ditandatangani 3 (tiga) negara pada Tahun 1984 dan diperbaharui Tahun 2015.

"Tapi ironisnya sampai saat ini penangangan kasus tumpahan minyak tidak pernah terselesaikan," kata Asdep Basilio.

Dirinya berharap penyelenggaraan rakor tersebut Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat dapat mengetahui peran dan tanggung jawab masing-masing  dalam menyelesaikan kasus-kasus pencemaran yang disebabkan oleh tumpahan minyak yang sering terjadi di Selat Malaka dan imbasnya ke Kepulauan Riau.

"Kita berharap Pemerintah Kepulauan Riau dan masyarakat bisa mendapatkan gugatan ganti rugi atas pencemaran dan kerugian lingkungan yang dilakukan akibat tumpahan minyak tersebut dengan cepat," tukasnya.

Sementara itu, Ahli Hukum Dr. Veronika Saptarini dari Yayasan  Langit Sapta Lampung mengatakan rakor ini membahas empat topik yang berkaitan dengan penyelesaian kasus tumpahan minyak yaitu pertama kesiapan Pemerintah Daerah, Swasta dan Masyarakat menghadapi keadaan tumpahan minyak di wilayah laut Kepualauan Riau; kedua ketersediaan Perangkat Hukum Nasional  dan Internasional oleh Staf Ahli Bidang Politik dan Kemaritiman, Sekretariat Kabinet Ibu Dyah Kusumastuti; ketiga tata cara Pengajuan Klaim untuk Penanggulangan Darurat Tumpahan Minyak berdasarkan SOP Trilateral Kerjasama Indonesia Malaysia dan Singapura dan keempag tatacara Pengajuan Gugatan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk dampak kerusakan lingkungan.

Veronika yang juga Arbiter Listing BANI ini menjelaskan, selain melalui gugatan pengadilan, pengajuan ganti rugi juga bisa dilakukan melalui mekanisme alternatif penyelesaian sengketa seperti negosiasi dan mediasi.

"Untuk masalah ganti ruginya juga dimungkinkan melalui mekanisme arbitrase. Selain itu, membangun kepedulian terhadap lingkungan semestinya juga dilakukan oleh perusahaan yang terkait bidang pelayaran, pariwisata dan perusahaan yang memanfaatkan laut beserta hasilnya dalam proses produksi melalui program CSR," ujarnya.

Lebih lanjut, Veronika yang aktif sebagai anggota Dewan Pengurus Nasional Ikatan Praktisi Keberlanjutan Bersertifikat (IPKB) mengemukakan dari rakor ini ditemukan bahwa semua Peraturan Nasional dan Internasional sudah memadai, tapi permasalahannya ada pada implementasi yang melibatkan Kementerian Perhubungan, Kementerian LHK, Kementerian KKP, Kejaksaan Agung selaku Jaksa Pengacara Negara, Ahli Terumbu Karang dan Masyarakat.

Untuk diketahui, rakor dihadiri oleh Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota Se-Provinsi Kepulauan Riau, Aparat Penegak Hukum, Swasta dan Organisasi Masyarakat.

[g-ntt/mp]
Lebih baru Lebih lama